Rabu, 21 September 2011

tak tentu arah

alunan kisahku mengalir begitu deras
memaksa lirih perih tak bertepi..
syahdu aku seperti dulu, kini mulai tak terdengar..
entah terbawa arus kenistaan yg bergumul
atau mungkin mati terkikis pasir-pasir yang menderu
titik embun mulai mengering tidak lagi patut untuk dipuja..
hmm.. apakah aku tidak lagi seperti itu?
begitu aku.., kaku.., rapuh..,
bias bayang malam pun berputar pagi, terperangkap terlalu dalam
terhanyut seperti sampan tak bertuan..
hendak kemana aku ini? Tak tentu arah..
mata yang mulai lelah, hati yang mulai membusuk,
sanggupkah gelang patah ini kutemukan?
Sanggupkah kata ini ku jadikan permata, kujadikan bunga
kujadikan apa saja yang bisa menyelimuti helai syair yang ku rajut..
Perlahan iba menghangatkan tubuhku…
membakar cemburu… mengoyak amarahku…

Jumat, 16 September 2011

memeluk bidadari

Gemuruh di jendela seperti serangkaian ketukan lembut jantungmu menembus kabut.
Pagi berpayung kelabu terkikis gerimis yang terbakar di matamu.
Hujan membuat kita memasuki perjalanan bara
yang mengembara di dada kita.
Menciptakan matahari.
Matahari yang menggantung indah di matamu,
lalu merangkak ke bulu matamu membentuk pelangi.
Aku memeluk bidadari.
Pelukan kita adalah samudera.
Menghanyutkan segala dera.
tanpa hela.. tanpa jeda..
Di sana gelombang cinta tak kenal lelah.
Membuat rindu seteduh lautan biru tak keluh menyusun gemuruh.
Membuat kecemasan berderai hilang di pasir pantai lengang.
Kita pun tertawa, memecah ubun sunyi.
Seperti ombak berbantun meneriak karang.
Seperti sepasang camar nan santun mempersembahkan cakrawala.
Pada sebuah pagi,  matahari menyebrangi samudera yang bergelora anggun di dada kita.