Minggu, 02 Oktober 2011

ketika senja turun

Kenalilah gelisah angin di antara buluh-buluh bambu
yang meliuk ke kanan dan meliuk ke kiri
yang menggemerisik di antara sunyi
karena ada bisikan tentang gelisahku. 

Ketika senja turun di bukit-bukit tak berpenghuni
ada rona yang dilukiskan pada latar langitnya
merah membara dan kadang-kadang lembayung
kenalilah warnanya yang disapukan dari rinduku.

Rabu, 21 September 2011

tak tentu arah

alunan kisahku mengalir begitu deras
memaksa lirih perih tak bertepi..
syahdu aku seperti dulu, kini mulai tak terdengar..
entah terbawa arus kenistaan yg bergumul
atau mungkin mati terkikis pasir-pasir yang menderu
titik embun mulai mengering tidak lagi patut untuk dipuja..
hmm.. apakah aku tidak lagi seperti itu?
begitu aku.., kaku.., rapuh..,
bias bayang malam pun berputar pagi, terperangkap terlalu dalam
terhanyut seperti sampan tak bertuan..
hendak kemana aku ini? Tak tentu arah..
mata yang mulai lelah, hati yang mulai membusuk,
sanggupkah gelang patah ini kutemukan?
Sanggupkah kata ini ku jadikan permata, kujadikan bunga
kujadikan apa saja yang bisa menyelimuti helai syair yang ku rajut..
Perlahan iba menghangatkan tubuhku…
membakar cemburu… mengoyak amarahku…

Jumat, 16 September 2011

memeluk bidadari

Gemuruh di jendela seperti serangkaian ketukan lembut jantungmu menembus kabut.
Pagi berpayung kelabu terkikis gerimis yang terbakar di matamu.
Hujan membuat kita memasuki perjalanan bara
yang mengembara di dada kita.
Menciptakan matahari.
Matahari yang menggantung indah di matamu,
lalu merangkak ke bulu matamu membentuk pelangi.
Aku memeluk bidadari.
Pelukan kita adalah samudera.
Menghanyutkan segala dera.
tanpa hela.. tanpa jeda..
Di sana gelombang cinta tak kenal lelah.
Membuat rindu seteduh lautan biru tak keluh menyusun gemuruh.
Membuat kecemasan berderai hilang di pasir pantai lengang.
Kita pun tertawa, memecah ubun sunyi.
Seperti ombak berbantun meneriak karang.
Seperti sepasang camar nan santun mempersembahkan cakrawala.
Pada sebuah pagi,  matahari menyebrangi samudera yang bergelora anggun di dada kita.

Rabu, 27 Juli 2011

biarkan waktu bicara

Biarkan waktu yang berbicara
Karena cepat atau lambat kau pasti akan mengerti
Jika hati tak bisa di paksakan yang ada hanyalah kekecewaan

Rasakan tulus rasaku
Jika aku hanya ingin kita sebagai sahabat
Rasakan ketulusanku sebagai sahabatmu
Lambat laun jika kau dapat memahami ini
Kau akan mengerti jika aku tak sanggup
Hatiku masih terluka dalam
Hingga aku tak sanggup tuk memulainya lagi

Tuk saat ini,
Aku hanya ingin dengan kesendirianku
Aku hanya ingin merasakan hari hariku
Penuh cinta di kelilingi oleh sahabat2 baikku

Terima kasih atas pelangi yang kau berikan
Tapi maafkan aku, aku tak sunggup melihat indahnya pelangimu
Percayalah, suatu saat pelangi yang kau punya akan lebih berarti tuk orang lain
Yang dapat melihat indahnya pelangimu
Dan kau pun akan merasakan indahnya pelangimu bersama orang terkasihmu

Terima kasih atas semuanya
Aku dapat merasakan ketulusanmu
Aku menyayangimu
Tapi sayangku sebagai sahabat
Maafkan aku 
Tak ada hasrat tuk melukaimu
Tapi akupun tak ingin kau terluka terlalu dalam dengan kemunafikanku

Jumat, 22 Juli 2011

Aku bukanlah siapa-siapa

Karena penyair selalu terpukau pada keindahan
dibuatnya puisi, seakan mampu mengabadikan rembang
seakan mampu menjadikannya tembang.
Tetapi senja tak pernah ragu pada malam
diserahkannya segala jingga.
Malam yang lembut datang perlahan
menyelimuti senja dengan bintang-bintang.


Bila gerimis turun menyunting
kala penyair dan langit berebut mencipta bianglala.
Penyair mengabadikan nya dalam bait
tetapi langit adalah khazanah
Selalu menjadi guru ketika penyair kehilangan arah,
ia menengadah, berharap langit penuh tanda
Sebab di setiap keindahan, ada peta menuju kata.


Sebongkah matahari kupahat prasasti
dengan kata-kata yang merangkum sejumlah rindu dan hangat dekapan
sejumlah cumbu dan hasrat membara.
Aku bukanlah penyair, apalagi langit senja
Aku bukanlah siapa-siapa, apalagi sesuatu.
Tetapi, dari setiap kata yang kumiliki,
ku ciptakan untukmu matahari yang indah.

Jumat, 15 Juli 2011

menggenggam rindu

Sebulir hujan menggantung di ujung payung
seukir kilau, sesafir cahaya yang tersimpan.
Meneteskan sebutir doa.

Kumasuki kelambu hujan
karna ku tau air matamu menggenggam rindu.

Waktu mendesak. Serasa singkat.
Rembang pun lewat,
saat benderang lampu-lampu
 
dan hujan berpamitan di ambang senja
perlahan menutup payung kita
dengan kecupan.

Kamis, 14 Juli 2011

sebuah cerita

Kalau tidak ada lagi kamu di hari depan ku..
Ini bukan salah mu..
Aku sudah memilih,
Jauh sebelum kamu menerka..
Aku sudah menentukan,
Jauh sebelum kamu merencanakan..
Aku sudah memutuskan,
Jauh sebelum kamu meminta aku untuk terus tinggal..
Kalau tidak ada lagi kamu di waktu depan ku..
Ini bukan salah ku..
Kamu sudah berusaha,
Jauh sebelum aku mencegah..
Kamu sudah bersikap,
Jauh sebelum aku mengubah..
Kamu sudah berangan,
Jauh sebelum aku menolak kamu untuk terus ada..
Kalau tidak ada lagi kita di masa depan..
Ini bukan salah kita..
Kita sudah saling menyayangi,
Meski akhirnya menjadi sangat disayangkan..
Kita sudah saling mengerti,
Meski akhirnya menjadi tidak dimengerti..
Kita sudah saling percaya,
Meski akhirnya menjadi tidak bisa dipercaya..
Kalau masa depan yang terjadi tidak seperti bayangan di masa lalu..
Ini bukan salah masa lalu..
Kalau lelaki yang bersama mu saat membentang janur kuning bukan aku..
Ini pun bukan salahnya..
Dan kalau di masa depan hanya ada aku dan kamu..
Ini bukan tentang kesalahan..
Ini hanya tentang mengikhlaskan ‘kita’..